Bikin Penasaran: Aku Tersenyum Di Hari Wisuda, Tapi Air Mataku Jatuh Tanpa Izin

Udara malam itu begitu dingin, menusuk tulang hingga terasa seperti pecahan kaca di dalam dada. Di balik gerbang megah Universitas Tsinghua, di mana lampu-lampu berpendar bagai mata iblis yang mengawasi, hatiku bagaikan malam panjang yang tak kunjung selesai. Lima tahun. Lima tahun aku memendam bara dendam yang membakar setiap inci kewarasanku.

Hari ini, aku, Lin Mei, berdiri di sini, di antara hiruk pikuk kebahagiaan, menyandang gelar cum laude. Di wajahku terukir senyum palsu, secantik topeng porselen. Tapi di dalam sana, di kedalaman jiwaku, air mata menetes tanpa izin, membasahi luka-luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh.

Dia ada di sana, di barisan depan, tersenyum bangga. Zhao Wei.

Darahku mendidih.

Dulu, cinta kami adalah lukisan indah yang terukir di atas sutra sutra kehidupan. Aku, gadis desa yang lugu, terpesona oleh pesona Zhao Wei, putra sulung keluarga Zhao yang berkuasa. Dia adalah mentari bagiku, dan aku, bunga matahari yang selalu menatapnya.

Namun, mentari itu ternyata membakar habis segalanya.

Darah di salju.

Itulah yang kuingat tentang malam itu. Malam di mana rahasia kelam keluarganya terungkap. Malam di mana aku menemukan kebenaran yang akan menghancurkan segalanya. Zhao Wei, kekasihku, ternyata terlibat dalam kematian kedua orang tuaku. Bukan secara langsung, tapi darah mereka menempel di tangannya, tak terhapuskan.

Cinta berubah menjadi kebencian yang membara. Janji-janji manis menjadi abu pahit. Aku bersumpah, di atas abu itu, aku akan membalas dendam.

Lima tahun aku menunggu. Lima tahun aku merencanakan. Aku menelan pil pahit ini, meramu racun yang paling mematikan. Aku belajar, aku berkembang, aku menyempurnakan diri. Aku menggunakan kecerdasan dan ketekunanku untuk naik, selangkah demi selangkah, hingga akhirnya aku berada di posisi ini, siap untuk menghancurkannya.

Hari ini, Zhao Wei memberiku bunga. Mawar merah yang baunya mencekik. Dia tersenyum, tanpa tahu bahwa senyumnya itu adalah senyum terakhir.

Air mata di antara dupa.

Aku melihat ke dalam matanya. Tidak ada penyesalan. Tidak ada belas kasihan. Hanya kekosongan. Kekosongan yang sama yang kurasakan setiap malam selama lima tahun terakhir.

Di pesta perayaan, aku memberikan toast untuknya. Dengan anggur yang sudah kuracik dengan hati-hati.

Saat dia meneguknya, aku melihatnya tersenyum. Perlahan, senyum itu memudar. Matanya terbelalak. Dia mencoba berbicara, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Aku mendekatinya, membisikkan kata-kata yang akan menghantuinya hingga akhir hayatnya: "Ini adalah balasan dari hati yang terlalu lama menunggu."

Dia jatuh ke lantai. Diam.

Aku tersenyum. Senyum yang benar-benar tulus, untuk pertama kalinya dalam lima tahun.

Balas dendamku telah selesai.

Tetapi kelegaan ini terasa hampa.

Aku bebas, namun terikat selama-lamanya.

Kemudian, aku berjalan keluar, meninggalkan kekacauan dan mayat di belakangku.

Di langit malam, bulan purnama bersinar dengan kejam.

Namun, bayangan dari masa lalu masih memanjang, siap untuk menerkam…

You Might Also Like: Panduan Sunscreen Lokal Ringan Tidak

Post a Comment