Hujan Paling Dingin di Bukit Baihua
Hujan menggigil mengguyur Bukit Baihua, serupa air mata langit yang tak pernah kering. Di gubuk reot dengan lentera yang cahayanya nyaris padam, Lin Yue menatap nanar ke arah hutan bambu yang berayun liar. Dulu, tempat ini adalah saksi bisu janji suci antara dirinya dan Wei Jun. Dulu.
Lima belas tahun telah berlalu sejak malam itu. Malam ketika Wei Jun, dengan mata penuh air mata, menusuknya dari belakang demi ambisi dan kekuasaan. Kata-kata terakhir Wei Jun terngiang di telinganya bagai mantra jahat: "Maafkan aku, Yue'er. Tapi aku harus melakukannya."
Dulu, Lin Yue adalah Yue'er bagi Wei Jun. Sekarang, dia hanyalah hantu dari masa lalu, bayangan patah yang menghantui setiap langkah Wei Jun, sang Kaisar Agung.
Setiap tetes hujan yang membasahi wajahnya adalah pengingat akan pengkhianatan itu. Pengingat akan janji-janji yang diucapkan di bawah rembulan, sekarang hanya menjadi abu dalam hatinya.
Wei Jun, yang kini bergelar Kaisar, sering datang ke Bukit Baihua, mencari ketenangan di tempat yang dulunya adalah taman cintanya. Dia tidak tahu bahwa setiap kunjungannya adalah siksaan yang disengaja. Setiap langkahnya di jalan setapak yang dulu mereka lalui bersama adalah pisau yang perlahan mengoyak hatinya.
Lin Yue mengamati Wei Jun dari kejauhan, seringkali bersembunyi di balik kabut atau di antara pepohonan bambu. Dia melihat kerutan di wajah Kaisar, rambut yang mulai memutih, dan mata yang menyimpan beban dunia. Apakah dia menyesal? Apakah penyesalan itu cukup untuk menebus kesalahannya?
Lin Yue tersenyum pahit. Penyesalan tidak pernah cukup.
Dia telah merencanakan ini selama bertahun-tahun. Dengan sabar, dengan teliti. Dia mengumpulkan informasi, mencari celah, dan mempersiapkan setiap langkah. Dendamnya adalah nafas terakhirnya, satu-satunya alasan dia masih bertahan hidup.
Dia menguasai racun, mempelajari seni bela diri, dan menjalin aliansi dengan musuh-musuh Wei Jun. Dia telah menjadi bayangan yang lebih gelap dari malam itu sendiri, monster yang diciptakan oleh pengkhianatan Wei Jun.
Suatu malam, di tengah badai yang mengamuk, Wei Jun datang ke gubuk itu. Dia berdiri di depan lentera yang sekarat, wajahnya diterangi cahaya redup.
"Yue'er," bisiknya, suara serak. "Aku tahu kau ada di sini."
Lin Yue muncul dari bayang-bayang. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi.
"Wei Jun," jawabnya, suaranya tajam seperti pecahan kaca. "Sudah lama."
Wei Jun menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku merindukanmu."
Lin Yue tertawa hampa. "Merindukanku? Setelah apa yang kau lakukan?"
"Aku punya alasan!" seru Wei Jun.
"Alasan apa?" tanya Lin Yue, mendekat. "Alasan apa yang bisa membenarkan pengkhianatan?"
Wei Jun terdiam. Dia tidak bisa menjawab.
Lin Yue tersenyum sinis. "Kau tahu, aku juga punya alasan. Alasan untuk menghancurkanmu."
Dia mengangkat tangannya. Di tangannya tergenggam sebilah pisau belati yang berkilauan.
"Kau akan membunuhku?" tanya Wei Jun, suaranya bergetar.
"Tidak," jawab Lin Yue, "Aku akan mengambil semua yang kau miliki."
Dia menusuk Wei Jun. Bukan di jantungnya. Tapi di titik akupuntur yang akan melumpuhkannya secara permanen.
Wei Jun ambruk ke tanah. Lin Yue berjongkok di sampingnya.
"Kau pikir kau tahu segalanya tentangku, Wei Jun," bisiknya. "Tapi ada satu hal yang tidak kau ketahui. Satu rahasia yang akan menghantuimu selamanya."
Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Wei Jun.
"Putra mahkota...bukanlah putramu."
You Might Also Like: Distributor Skincare Penghasilan
Post a Comment