Cerita Populer: Aku Tahu Cinta Ini Terkutuk, Tapi Tak Ada Kutukan Yang Lebih Indah

Lorong Tak Berujung, Kebenaran yang Tersembunyi

Lorong istana itu mati. Sunyi. Hanya suara langkah kaki yang menggema, bergema, seolah memanggil arwah yang telah lama pergi. Kabut tipis merayapi lantai marmer, dingin menyentuh kulit. Aku, Li Wei, kembali. Setelah sepuluh tahun dianggap hilang, terperosok dalam jurang yang kata mereka merenggut nyawaku.

Tapi aku hidup.

Aku kembali untuk menjawab pertanyaan yang tak pernah berani diucapkan bibir siapa pun. Pertanyaan tentang malam berdarah itu, malam di mana Ayah meregang nyawa, dan aku…menghilang.

Di ujung lorong, berdiri dia. Kakakku, Pangeran Zian. Sosoknya anggun dalam balutan jubah brokat berwarna safir, namun matanya…matanya menyimpan kegelapan yang sama dengan lorong ini.

"Li Wei," bisiknya, suaranya bagai angin yang berdesir di antara nisan. "Kau kembali."

"Aku tidak pernah pergi, Kakak," jawabku, suaraku setenang permukaan danau es. "Hanya bersembunyi. Menunggu waktu yang tepat untuk mengungkap kebenaran."

Dia tersenyum tipis. Senyum yang tak pernah sampai ke matanya. "Kebenaran apa, Adikku? Kebenaran bahwa kau adalah satu-satunya saksi pembunuhan Ayah?"

"Bukan sekadar saksi, Kakak. Aku adalah bagian dari rencana itu."

Tiba-tiba, kabut terasa semakin pekat, menyesakkan. Aroma magnolia yang selalu menjadi favoritku terasa pahit di hidung.

"Rencana?" Zian tertawa hambar. "Kau menuduhku?"

"Aku tidak menuduh, Kakak. Aku membenarkan." Aku mendekat, menatap lurus ke matanya. "Kau yang menyuruhku. Kau yang merencanakan semuanya. Kau yang ingin menjadi Satu-Satunya."

Ingatannya kembali, bagai kilatan petir di malam gelap. Malam itu, di bawah rembulan pucat, dia membisikkan rencana jahatnya. Aku, yang dibutakan oleh cinta dan ambisi, menyetujuinya. Tapi aku tidak tahu, bahwa aku hanya pion dalam permainannya.

"Kau berbohong!" desisnya, wajahnya memerah padam.

"Apakah aku berbohong saat mengatakan bahwa racun yang digunakan untuk membunuh Ayah berasal dari kebunmu? Atau saat mengatakan bahwa pedang yang menancap di tubuhnya, adalah pedang milikmu yang hilang?"

Dia terdiam.

Aku melanjutkan, "Kau kira, aku benar-benar jatuh ke jurang itu? Tidak, Kakak. Aku bersembunyi, belajar, merencanakan. Menunggu saat yang tepat untuk menghancurkanmu."

Dia mundur selangkah. Ketakutan terpancar jelas di matanya.

"Kau…kau…"

Aku mendekat lagi, membisikkan kata-kata terakhir di telinganya. "Aku tahu cinta ini terkutuk, tapi tak ada kutukan yang lebih indah daripada menghancurkan orang yang kusayangi dengan tanganku sendiri."

Saat itu, di lorong istana yang sunyi, rahasia terakhir terungkap. Bukan Zian yang memegang kendali. Aku. Aku yang merencanakan semuanya. Aku yang mengorbankan diri demi sebuah rencana yang lebih besar. Sebuah rencana untuk merebut takhta, dan membuktikan bahwa seorang wanita pun bisa menjadi Kaisar.

Dan saat kulihat kekosongan di matanya, aku tahu, aku telah menang.

Semua orang adalah bidak, dan aku adalah pemain caturnya.

You Might Also Like: Supplier Kosmetik Tangan Pertama Usaha

Post a Comment